Header Ads

ad728
  • BERITA TERKINI

    Kebangkitan Nasional

     


    Pada 20 Mei 1908, organisasi Budi Utomo didirikan oleh sekelompok pemuda cendekia. Bukan partai politik, bukan pula gerakan bersenjata. Namun dari sinilah api kesadaran nasional dinyalakan. Cita-cita mereka sederhana namun dalam: memajukan pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan demi mencerdaskan bangsa. Di tengah keterjajahan, mereka justru percaya bahwa kebangkitan harus dimulai dari pikiran.

    Kita sering mengenang Budi Utomo sebagai tonggak awal Kebangkitan Nasional. Namun apakah kita cukup merenungkan bahwa yang mereka perjuangkan sejatinya adalah pendidikan? Bukan sekadar mencetak tenaga kerja, melainkan membangun manusia seutuhnya. Manusia yang merdeka dalam berpikir, berbudaya dalam bertindak, dan berjiwa sosial dalam kehidupan.

    Gagasan ini berpaut erat dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara. Ia meyakini bahwa pendidikan bukan hanya transfer ilmu, tetapi sarana untuk memanusiakan manusia. “Pendidikan adalah daya upaya untuk memerdekakan manusia lahir dan batin,” ungkapnya. Adapun HOS Cokroaminoto mengajarkan bahwa pendidikan harus melahirkan pemimpin sejati—berilmu, berbudi, dan berdaya ubah.

    Hari ini, di tengah hiruk pikuk kurikulum dan ujian standar, semangat itu kerap terasa sayup. Sekolah sering kali terjebak dalam rutinitas administratif, sementara peserta didik diburu target angka dan peringkat. Di sinilah kita perlu mengembalikan ruh pendidikan sebagai upaya memanusiakan manusia—membangun karakter, mengasah empati, dan menumbuhkan akal budi.

    Konsep ini hari ini hidup dalam berbagai model pendidikan karakter, salah satunya yang dikembangkan oleh LDII melalui pendekatan pendidikan Profesional Religius. Model ini mengintegrasikan nilai-nilai religius, keterampilan hidup, dan kecakapan akademik secara holistik. Tujuannya bukan hanya mencetak lulusan yang pintar, tapi juga jujur, mandiri, dan berakhlak mulia. Pendidikan tidak hanya menjawab kebutuhan dunia kerja, tetapi juga kebutuhan jiwa dan masyarakat.

    Dalam konsep 29 karakter luhur yang dikembangkan LDII, aspek profesionalitas tidak pernah lepas dari nilai spiritualitas. Nilai-nilai seperti jujur, amanah, kerja keras (mujhid), hemat (muzhid), serta prinsip kerja bener, kurup, janji menjadi bagian tak terpisahkan dari proses pembelajaran. Ini selaras dengan ajaran Ki Hajar dan HOS Cokroaminoto yang melihat bahwa karakter lebih utama daripada gelar.

    Tentu, tantangan dunia pendidikan kita hari ini tidak ringan. Kesenjangan kualitas antarwilayah, minimnya literasi, kurikulum yang belum menyentuh kebutuhan zaman, serta dominasi informasi instan yang memicu fenomena post-truth menjadi tantangan serius. Namun, kita tidak bisa menyerah. Kita butuh pendidikan yang membebaskan, memberdayakan, dan membangun jiwa.

    Solusinya bukan semata soal teknologi atau dana. Kita butuh orientasi baru dalam pendidikan: menghidupkan kembali nilai-nilai luhur, mendekatkan sekolah dengan realitas sosial, dan menjadikan guru sebagai teladan karakter. Pendidikan harus kembali membentuk manusia yang utuh, bukan hanya kompeten secara teknis, tetapi juga arif secara moral.

    Seperti api yang pernah dinyalakan oleh para pendiri bangsa, kebangkitan sejati hanya akan lahir dari kesadaran. Kesadaran bahwa membangun bangsa bukan hanya membangun jalan dan gedung, tetapi membangun manusia yang berpikir, beretika, dan berdaya.

    Bangsa besar tidak dibentuk oleh kekuatan ekonomi semata, tetapi oleh kekuatan nilai dan karakter warganya. Mari jadikan Hari Kebangkitan Nasional ini sebagai pengingat bahwa pendidikan adalah ruh kebangkitan itu sendiri.

    Penulis:

    Thonang Effendi
    *Ketua Departemen Pendidikan Umum dan Pelatihan DPP LDII

    Tidak ada komentar