Pakar Kejiwaan: Satu Dari Tiga Peserta Didik Berpotensi Alami Kekerasan
Kediri (27/5). Satu dari tiga peserta didik berpotensi mengalami kekerasan seksual. Pernyataan ini disampaikan dokter spesialis kejiwaan, Riko Lazuardi saat memberikan pelatihan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) Perintisan Sekolah Aman, Nyaman dan Menyenangkan (SANM) 2025. Acara ini diselenggarakan oleh DPP LDII di Pondok Pesantren Wali Barokah, Kediri, Sabtu-Minggu (24-25/5).
Penanganan dampak psikologis kekerasan dan perundungan pada satuan pendidikan menjadi perhatian utama dalam pelatihan ini. Kegiatan yang berlangsung secara hibrid ini diikuti oleh 200 satuan pendidikan di bawah naungan LDII dari seluruh Indonesia.
Riko Lazuardi menekankan pentingnya kesigapan satuan pendidikan dalam menangani dampak psikologis kekerasan, termasuk kekerasan seksual dan perundungan. Dalam pemaparannya, Riko mengungkapkan bahwa satu dari tiga peserta didik berpotensi mengalami kekerasan seksual. Sementara itu, satu dari empat berpotensi mendapatkan hukuman fisik.
Kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan bisa berupa sentuhan tubuh hingga pemaksaan melakukan aktivitas seksual. Ia juga menjelaskan bahwa perundungan seringkali terjadi karena relasi kuasa dan melibatkan pelaku, korban, dan pengamat.
Riko mengatakan, anak-anak yang menjadi korban mungkin belum memahami bahwa mereka mengalami kekerasan, namun menyadari bahwa perlakuan tersebut tidak menyenangkan. Perlakuan buruk tersebut bisa muncul dalam bentuk mimpi buruk, gangguan kepercayaan pada orang lain, bahkan potensi menjadi pelaku kekerasan di masa depan sebagai bentuk pelampiasan.
“Pengamat juga perlu diperhatikan karena mereka bisa merasa terancam menjadi korban berikutnya, mengalami kecemasan, gangguan konsentrasi, dan berpikir tidak logis,” ujarnya.
Riko menekankan pentingnya membuat Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam penanganan kasus kekerasan. Ia juga mengingatkan tanda bahaya yang perlu diwaspadai, seperti melukai diri sendiri, percobaan bunuh diri, gelisah, penelantaran diri, dan membahayakan orang lain. “Seringkali mereka tahu bahwa bunuh diri itu dosa, tapi mereka mengungkapkan keinginan itu kepada kita sebagai bentuk permintaan tolong,” jelasnya.
Ia juga menjelaskan bahwa penanganan kegawatan psikologis harus dilakukan melalui intervensi krisis, dengan prioritas pada pengamanan korban, mendengarkan secara empatik, dan memberikan normalisasi. “Kita harus memastikan korban merasa tidak bersalah atas apa yang dialaminya,” kata Riko.
Sebagai bentuk penanganan awal, satuan pendidikan diminta melakukan penilaian awal, mengumpulkan data kasus, serta memperkirakan dampak dan tingkat kekerasan. “Saat ada laporan, tanggapi dengan serius dan penuh empati, serta syukuri keberanian korban untuk menceritakan,” katanya.
Ia juga menyebutkan bahwa generasi Z lebih peduli terhadap kesehatan mental, sehingga satuan pendidikan tidak perlu ragu untuk merujuk siswa ke tenaga profesional. Untuk guru dan institusi pendidikan, Riko menekankan pentingnya membangun kepercayaan agar siswa merasa aman dalam menyampaikan informasi.
“Institusi pendidikan harus transparan dalam menangani kasus kekerasan. Jangan ditutupi, aturan harus ditegakkan dan pelanggaran harus ditindak,” tegasnya.
Terkait waktu yang tepat merujuk siswa ke psikiater, Riko menyatakan, hal itu perlu dilakukan ketika muncul gejala signifikan seperti gangguan tidur atau menurunnya fungsi diri seperti enggan mandi. “Tugas kita adalah menjadi teman dulu bagi mereka,” pungkasnya.
Tidak ada komentar