Rasa Lokal dalam Rakorwil LDII Banten
Serang (17/05). Di sudut ruangan yang hangat, kepulan aroma kopi hitam perlahan menyatu dengan percakapan akrab. Bukan kedai, bukan pula rumah warga ini adalah pembukaan Rapat Koordinasi Wilayah (Rakorwil) LDII Banten, yang tahun ini dikemas berbeda: lebih santai, lebih membumi, dan sarat nuansa kekeluargaan.,Alih-alih duduk berbaris dengan deretan mikrofon dan meja panjang, para peserta duduk melingkar. Di tangan mereka bukan map berisi notulen, tapi secangkir kopi yang diseruput sambil berdiskusi soal masa depan organisasi. Begitulah gaya khas DPW LDII Banten di bawah kepemimpinan Dimo Tomo Sumito, menggali strategi besar dari percakapan kecil.
“Diplomasi kopi ini bukan hanya soal gaya, tapi soal pendekatan,” ujar Dimo. “Kami ingin menciptakan ruang yang nyaman, di mana setiap orang merasa didengar, bebas menyampaikan ide, bahkan perbedaan pendapat.”
Pendekatan ini bukan tanpa alasan. Dalam budaya Banten, sebagaimana di banyak daerah Indonesia, kopi bukan sekadar minuman. Ia adalah perekat sosial. Dari warung ke warung, dari serambi ke halaman rumah, kopi adalah medium diskusi, tawar-menawar, hingga berdamai.
Konsep ini sudah diujicoba sebelumnya di Rakornas LDII dan terbukti efektif mencairkan ketegangan dalam forum-forum formal. Kini, LDII Banten membawanya pulang—menjadikan budaya lokal sebagai bagian dari strategi komunikasi.
“Dengan cara ini, hubungan antarpengurus menjadi lebih cair. Kami juga ingin stakeholder merasa menjadi bagian dari keluarga besar LDII,” kata Dimo sambil tersenyum.
Rakorwil tahun ini menjadi ruang dialektika yang unik—di mana strategi organisasi dan isu sosial dibahas di sela tawa ringan dan aroma robusta. Mungkin inilah yang disebut dengan musyawarah yang menghangatkan, dalam arti harfiah dan batiniah.
Sebab, ketika kopi menjadi jembatan, maka setiap gagasan pun bisa menemukan jalannya sendiri. Dan di Banten, semua itu dimulai dari secangkir kopi.
Tidak ada komentar